Jejak Leluhur Marga Harahap dan Keturunan Samudera Pasai di Barumun
Situs makam keramat Jiret Mertuah yang terletak di Desa Pageran Bira Jae, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas, menyimpan cerita sejarah yang erat kaitannya dengan penyebaran Islam di Tapanuli Selatan. Makam ini, yang dikenal dengan nama Pageran Bira oleh para peneliti, merupakan situs bersejarah yang memberikan jejak penting tentang keberadaan marga Harahap dan keturunan Samudera Pasai di wilayah Barumun. Situs ini tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi juga memancarkan aura mistis yang dipercaya oleh masyarakat setempat.
Untuk mencapai situs ini, pengunjung harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dari Gunung Tua, Kabupaten Padang Lawas Utara, perjalanan dimulai dengan menempuh jarak 73 kilometer menuju Kota Sibuhuan, kemudian belok ke arah barat sejauh 18 kilometer. Dalam perjalanan ini, pengunjung akan melewati beberapa kecamatan, termasuk Barumun, Ulu Barumun, dan Sosopan, sebelum sampai di Desa Pageran Bira Jae. Sesampainya di desa ini, pengunjung akan disambut oleh Masjid Nurul Imam, sebuah masjid yang diyakini sebagai peninggalan Sultan Hamid Al Muktadir, yang memiliki kaitan dengan sejarah Kesultanan Aru Barumun.
Masjid Nurul Imam memiliki nilai sejarah yang tinggi. Air yang sangat jernih dan dingin yang terdapat di masjid ini dipercaya berasal dari Bukit Barisan, dan air tersebut digunakan oleh warga setempat untuk wudhu. Keunikan lainnya adalah keberadaan beduk masjid yang sudah berusia ratusan tahun dan masih utuh, serta tiang masjid yang kokoh. Interior masjid pun masih original dan belum mengalami perubahan sejak pertama kali dibangun. Keaslian masjid ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang ingin merasakan suasana sejarah yang kental.
Dari Masjid Nurul Imam, perjalanan dilanjutkan menuju makam keramat Jiret Mertuah, yang terletak sekitar 200 meter dari desa melalui jalan setapak. Situs makam ini dipercaya sebagai tempat peristirahatan seorang tokoh besar yang memiliki peran penting dalam sejarah Islam di daerah ini. Sebelum berkunjung ke makam, pengunjung biasanya melakukan beberapa ritual, seperti mengambil wudhu dan membawa juru kunci atau ulama setempat. Konon, jika ritual ini tidak dilakukan, pengunjung akan mengalami keanehan dan tertolak untuk mendekati makam.
Makam Jiret Mertuah terletak di tengah kebun kopi, dan jaraknya sekitar 100 meter dari Sungai Sorimangampu yang mengalir dari barat daya ke timur laut. Situs makam ini terdiri dari dua makam yang diyakini sebagai makam pasangan suami-istri. Hal yang menarik dari situs ini adalah kenyataan bahwa makam-makam tersebut dibangun di atas bekas candi, dengan batu-batu candi yang terdiri dari andesit berbentuk umpak, yoni, dan kemuncak candi. Keberadaan candi ini menunjukkan bahwa situs ini sudah ada jauh sebelum penyebaran Islam di wilayah Barumun.
Makam pertama adalah makam sang suami, yang terletak di atas tumpukan batu candi dan batu kali. Makam ini memiliki ukuran sekitar 4,4 x 1 meter persegi dan nisannya berbentuk kemuncak candi. Di bagian kepala dan kaki makam ini terdapat stupa, sebuah ciri khas dari peninggalan kerajaan Hindu-Buddha. Sementara itu, makam kedua memiliki nisan berbentuk kemuncak candi di bagian kepala dan lempengan batu candi berbentuk persegi empat di bagian kaki.
Tokoh yang dimakamkan di situs ini diyakini sebagai penyebar Islam di Tapanuli bagian selatan. Dalam catatan sejarah, pada periode 1459 hingga 1462, Kesultanan Aru Barumun yang terletak di muara Barumun, Sumatera bagian selatan, mengalami masa kejayaan. Kesultanan ini dipimpin oleh Sultan Malik Al Mansyur, putra Malik As Saleh dari Kerajaan Pasai, yang kemudian digantikan oleh Sultan Hasan Al Ghaffur, dan akhirnya oleh Sultan Hamid Al Muktadir.
Namun, serangan dari Kesultanan Malaka yang datang dengan kekuatan besar menghancurkan benteng dan armada laut Kesultanan Aru Barumun. Sultan Hamid Al Muktadir terdesak hingga ke hulu Sungai Barumun, tempat di mana ia akhirnya wafat. Warga Pageran Bira, khususnya di Kecamatan Hulu Barumun, meyakini bahwa Sultan Hamid wafat di Bukit Barisan yang terletak sekitar satu kilometer dari hulu Sungai Barumun. Sultan Hamid tetap bertahan di daerah ini dan terus berdakwah hingga akhir hayatnya meskipun terdesak oleh serangan.
Peperangan yang terjadi di Kesultanan Aru Barumun tersebut dikatakan disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam ajaran Islam, yang pada akhirnya mempengaruhi politik dan kekuasaan di wilayah tersebut. Meskipun demikian, Sultan Hamid tetap teguh dalam menyebarkan ajaran Islam hingga ia meninggal dunia di daerah tersebut. Pemakaman di Pageran Bira Jae ini menjadi bukti penting bahwa Tapanuli Selatan, khususnya Barumun, merupakan salah satu kawasan yang memainkan peran strategis dalam penyebaran Islam di Sumatera.
Sebagian marga Harahap, yang merupakan keturunan langsung dari kerajaan ini, hingga kini masih menjaga tradisi dan warisan leluhurnya. Marga ini dipercaya memiliki garis keturunan yang sangat erat dengan Kesultanan Aru Barumun dan Samudera Pasai.
Keberadaan situs makam ini semakin mengukuhkan hubungan sejarah antara Tapanuli Selatan dengan kerajaan besar di masa lalu, seperti Samudera Pasai, yang merupakan salah satu pusat penyebaran Islam pertama di Sumatera.
Warga setempat, terutama dari marga Harahap, terus merawat dan menjaga situs makam ini dengan penuh rasa hormat. Mereka menganggap makam tersebut sebagai warisan yang harus dijaga kelestariannya, tidak hanya sebagai tempat bersejarah, tetapi juga sebagai tempat spiritual yang mengandung banyak nilai kehidupan. Keberadaan makam ini menjadi simbol dari perjuangan leluhur mereka dalam menyebarkan ajaran Islam di Tapanuli Selatan.
Situs ini juga menjadi destinasi ziarah bagi banyak orang, baik dari dalam maupun luar daerah. Para peziarah datang untuk mendoakan leluhur mereka dan memperdalam pemahaman tentang sejarah perjuangan penyebaran Islam di wilayah ini. Selain itu, tempat ini juga menjadi bukti nyata tentang kedekatan masyarakat Tapanuli dengan sejarah Islam di Nusantara.
Dari segi arkeologi, situs makam keramat ini memberikan banyak informasi tentang budaya dan peradaban masa lalu, terutama dalam konteks percampuran antara Hindu-Buddha dan Islam. Batu-batu candi yang ditemukan di situs ini mengindikasikan bahwa tempat ini pernah menjadi bagian dari kerajaan Hindu-Buddha sebelum akhirnya Islam masuk dan berkembang di wilayah ini.
Keberadaan makam ini juga membuka peluang untuk pengembangan pariwisata berbasis sejarah dan spiritual. Dengan perawatan yang tepat, situs makam Jiret Mertuah dan Masjid Nurul Imam dapat menjadi tempat wisata sejarah yang menarik bagi para wisatawan yang ingin mempelajari lebih dalam tentang sejarah penyebaran Islam di Tapanuli Selatan dan perjuangan leluhur marga Harahap dan keturunan Samudera Pasai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar