Ads Top

Jejak Rasisme dan Kekerasan Orang Belanda Jacobus Nienhuys di Deli: Dari Tuduhan Pembunuhan hingga Pengusiran oleh Sultan



Medan – Sejarah kolonialisme di Indonesia penuh dengan kisah eksploitasi dan ketidakadilan. Salah satu tokoh yang sering disebut dalam sejarah perkebunan tembakau di Sumatera adalah Jacobus Nienhuys. Ia dikenal sebagai pendiri industri tembakau di Deli, yang kelak berkembang menjadi salah satu komoditas ekspor utama Hindia Belanda. Namun, di balik kesuksesan industri ini, tersimpan jejak kelam yang terkait dengan perlakuan kejam terhadap para pekerja dan pandangan rasis yang dianut oleh Nienhuys.

Dalam beberapa tulisan dan laporan sejarah, Nienhuys digambarkan sebagai seseorang yang memandang rendah kelompok-kelompok etnis di Hindia Belanda. Ia pernah menulis bahwa “Orang Cina adalah penipu yang licik dan orang Jawa adalah malas,” serta “Orang Batak adalah ras yang terbelakang.” Pernyataan ini mencerminkan sikap rasis yang saat itu lazim di kalangan kolonial Belanda, yang menganggap pribumi sebagai kelompok yang lebih rendah dan hanya layak menjadi tenaga kerja bagi kepentingan ekonomi mereka.

Sikap rasis Nienhuys tidak hanya tercermin dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakannya. Laporan dalam surat kabar Sumatra Post edisi 30 Mei 1913 menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1867-1868, Nienhuys dituduh telah mencambuk tujuh kuli Cina hingga tewas. Meskipun tuduhan ini tidak pernah terbuktikan secara resmi, kasus ini juga tidak terbantahkan, yang menunjukkan adanya kemungkinan besar bahwa tindakan keji tersebut benar-benar terjadi.

Keberadaan tuduhan ini menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat dan pemerintah lokal. Sultan Deli yang saat itu masih memiliki otoritas atas wilayahnya mengambil tindakan tegas. Ia memerintahkan Nienhuys untuk segera meninggalkan Deli dan melarangnya kembali ke wilayah tersebut. Keputusan ini cukup mengejutkan mengingat pengaruh kolonial Belanda yang semakin kuat pada masa itu, tetapi menunjukkan bahwa Sultan Deli masih memiliki keberanian untuk menindak pelanggaran hak asasi manusia di wilayahnya.

Keputusan pengusiran Nienhuys ini tidak serta-merta mengakhiri eksploitasi tenaga kerja di perkebunan tembakau Deli. Setelah Nienhuys pergi, perusahaan yang ia dirikan, Deli Maatschappij, tetap beroperasi dan bahkan semakin berkembang. Perusahaan ini kemudian menjadi simbol eksploitasi buruh, dengan sistem kerja paksa yang membuat para pekerja—khususnya kuli kontrak dari Tiongkok dan Jawa—hidup dalam kondisi yang mengenaskan.

Sistem kuli kontrak yang diberlakukan di perkebunan Deli pada masa itu terkenal kejam. Para pekerja sering kali mengalami perlakuan tidak manusiawi, seperti kerja paksa, penyiksaan, hingga kematian akibat kondisi kerja yang buruk. Hal ini bahkan mendapat perhatian internasional dan menjadi salah satu faktor yang memicu perdebatan di Belanda tentang kebijakan kolonial di Hindia Belanda.

Meski telah diusir dari Deli, Nienhuys tetap menjadi sosok yang berpengaruh dalam sejarah ekonomi kolonial di Indonesia. Setelah meninggalkan Deli, ia tetap terlibat dalam bisnis tembakau di wilayah lain, dan warisannya dalam industri perkebunan tetap berlanjut melalui perusahaan-perusahaan yang berkembang di bawah sistem kolonial.

Sementara itu, tindakan Sultan Deli dalam mengusir Nienhuys mencerminkan keberanian seorang pemimpin lokal dalam menghadapi ketidakadilan. Di tengah dominasi kekuatan kolonial, langkah ini menunjukkan bahwa masih ada upaya untuk melindungi masyarakat dari kekejaman para pengusaha asing yang hanya berorientasi pada keuntungan semata.

Namun, pengaruh kolonial yang semakin kuat membuat tindakan Sultan Deli tersebut tidak berdampak besar dalam jangka panjang. Perkebunan tembakau di Deli tetap menjadi pusat eksploitasi tenaga kerja hingga beberapa dekade setelahnya. Pekerja-pekerja pribumi dan imigran Tiongkok terus menjadi korban sistem yang tidak adil, meskipun ada berbagai perlawanan dari kelompok buruh dan aktivis sosial.

Sikap rasis yang ditunjukkan oleh Nienhuys bukanlah hal yang asing di era kolonial. Banyak pengusaha dan pejabat kolonial Belanda yang memandang pribumi sebagai kelompok yang tidak berdaya dan hanya layak menjadi tenaga kerja kasar. Narasi ini digunakan untuk membenarkan eksploitasi yang mereka lakukan, sekaligus memperkuat dominasi kolonial atas Nusantara.

Hari ini, jejak Nienhuys dan sejarah kelam industri perkebunan di Deli tetap menjadi bagian dari ingatan kolektif masyarakat Sumatera Utara. Meskipun perkebunan tembakau telah mengalami banyak perubahan, kisah tentang eksploitasi tenaga kerja dan ketidakadilan di masa lalu tetap menjadi bahan refleksi penting bagi generasi saat ini.

Sejarah kolonial di Indonesia memang penuh dengan kontradiksi. Di satu sisi, ada pencapaian ekonomi yang membawa keuntungan besar bagi Belanda dan para pengusaha kolonial. Namun, di sisi lain, pencapaian tersebut sering kali dibangun di atas penderitaan jutaan pekerja yang dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi.

Tuduhan terhadap Nienhuys terkait penyiksaan dan pembunuhan kuli Cina menjadi salah satu contoh bagaimana kekuasaan kolonial sering kali digunakan untuk menindas rakyat pribumi dan imigran yang tidak memiliki perlindungan hukum. Kasus ini juga mencerminkan betapa sulitnya bagi para pekerja di era kolonial untuk mendapatkan keadilan.

Pengusiran Nienhuys oleh Sultan Deli mungkin tidak cukup untuk mengubah sistem yang sudah mengakar, tetapi setidaknya menunjukkan bahwa masih ada perlawanan terhadap ketidakadilan, meskipun dalam skala yang terbatas. Langkah ini menjadi bukti bahwa ada penguasa lokal yang masih peduli dengan nasib rakyatnya, meskipun kekuatan kolonial terus berusaha mengendalikan wilayah tersebut.

Dalam konteks sejarah yang lebih luas, kisah Nienhuys juga mengingatkan kita akan pentingnya memahami masa lalu agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Eksploitasi tenaga kerja, rasisme, dan ketidakadilan adalah isu yang masih relevan hingga saat ini, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia.

Sejarah kelam kolonialisme di Indonesia, termasuk yang terjadi di Deli, menjadi pengingat bahwa kemajuan ekonomi tidak boleh dicapai dengan mengorbankan hak asasi manusia. Kisah Nienhuys dan pengusirannya dari Deli adalah bagian dari sejarah yang harus terus diingat agar menjadi pelajaran bagi masa depan.

Hari ini, banyak upaya dilakukan untuk melestarikan warisan sejarah di Deli, termasuk dalam bentuk museum dan penelitian akademik. Namun, penting juga bagi kita untuk tidak hanya mengenang kejayaan industri tembakau, tetapi juga mengakui penderitaan yang dialami oleh para pekerja yang menjadi tulang punggung industri tersebut.

Dengan memahami sejarah secara lebih kritis, kita dapat belajar bagaimana membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan manusiawi di masa depan. Kisah Nienhuys dan eksploitasi di Deli adalah bagian dari sejarah yang harus terus diceritakan, bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk memastikan bahwa ketidakadilan seperti ini tidak lagi terjadi di masa depan.

Dibuat oleh AI

Lihat sumber tulisan

Leave a Comment

Ads Inside Post

Diberdayakan oleh Blogger.