Ads Top

Alasan Taiz Yaman Jadi Rebutan Sanaa dan Aden


Ketegangan politik di Yaman kembali memanas, kali ini berpusat di wilayah strategis Taiz yang terletak di barat daya negara itu. Wilayah ini menjadi saksi ketegangan antara dua kekuatan besar yang bersaing memperebutkan pengaruh, yakni kelompok Houthi yang memerintah di Sanaa dan pemerintahan yang berpusat di Aden, yang diakui secara internasional. Selain menjadi titik krusial secara militer, Taiz juga menghadap langsung ke Bab al-Mandab, selat penting yang menghubungkan Laut Merah dan Samudera Hindia.

Secara populasi, Taiz memiliki sekitar 4,5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sekitar 600 ribu warga tinggal di wilayah utara dan barat daya kota yang masih berada di bawah kekuasaan Houthi. Sementara itu, lebih dari 3,9 juta jiwa hidup di area yang dikendalikan oleh pemerintah Aden serta kelompok lokal yang loyal terhadap Dewan Kepresidenan Yaman. Perbatasan kendali antara kedua kubu ini kerap bergeser, seiring pertempuran sporadis yang masih terus berlangsung di berbagai garis depan.

Pemerintahan Aden menunjuk Nabil Shamsan sebagai gubernur Taiz sejak 2019. Ia masih menjabat hingga saat ini dan secara aktif terlibat dalam koordinasi bantuan kemanusiaan serta upaya rekonstruksi di wilayah-wilayah yang berhasil direbut kembali dari tangan Houthi. Sementara itu, kelompok Houthi menunjuk Salah Bajash sebagai gubernur versi mereka, yang berkantor di wilayah utara kota Taiz yang masih mereka kuasai.

Situasi ini membuat Taiz menjadi satu-satunya wilayah di Yaman yang memiliki dua gubernur aktif dalam waktu bersamaan. Masing-masing menjalankan administrasi, sistem keamanan, dan layanan publik di wilayah kekuasaannya, meski dengan kondisi infrastruktur yang sangat terbatas akibat blokade dan kerusakan akibat perang yang telah berlangsung hampir satu dekade.

Di tengah ketegangan ini, muncul wacana lama yang kembali mencuat tentang keinginan sebagian kelompok di Taiz untuk memisahkan diri dari Yaman dan mendirikan negara merdeka bernama Republik Taiz. Isu ini sebenarnya telah berhembus sejak awal konflik 2015, ketika sebagian elite lokal merasa frustrasi terhadap dominasi politik utara dan campur tangan kekuatan luar dalam urusan wilayah mereka.

Dorongan separatisme ini belakangan kembali ramai diperbincangkan, terutama di kalangan pebisnis, aktivis, dan sebagian tokoh politik lokal. Mereka beralasan bahwa Taiz memiliki kekuatan ekonomi tersendiri, akses strategis ke Laut Merah melalui Pelabuhan Mokha, dan budaya politik yang lebih terbuka dibandingkan wilayah Yaman lainnya.

Namun gagasan tersebut mendapat tentangan dari berbagai pihak. Pemerintahan Aden secara tegas menolak ide itu, menyebutnya sebagai upaya memperlemah persatuan nasional. Kelompok Houthi pun menilai wacana ini hanya permainan politik dari rival mereka untuk memecah konsentrasi perang yang sedang berlangsung di berbagai front.

Meski belum ada deklarasi resmi, sejumlah pertemuan informal telah digelar di wilayah Taiz yang dikuasai pemerintah. Dalam diskusi tersebut, sebagian elite lokal menyuarakan pentingnya otonomi khusus bagi Taiz, atau bahkan opsi referendum untuk menentukan nasib politik mereka di masa depan. Beberapa tokoh juga menyuarakan kekesalan terhadap peran militer Uni Emirat Arab dan kehadiran kekuatan asing di Bab al-Mandab.

Salah satu sosok yang menentang keras perluasan pengaruh militer di Taiz adalah peraih Nobel Perdamaian asal Yaman, Tawakkol Karman. Ia secara terbuka mengecam manuver politik dan militer dari kubu Tarik Saleh, keponakan mendiang Presiden Ali Abdullah Saleh, yang didukung dana besar dari Uni Emirat Arab dan saat ini mengendalikan Pelabuhan Mokha serta area sekitarnya.

Menurut Karman, Taiz selama ini menjadi korban persaingan elite politik Yaman dan kekuatan asing, padahal warga di sana hidup dalam situasi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Kelangkaan air bersih, listrik, layanan kesehatan, serta meningkatnya wabah penyakit menjadi masalah harian yang belum terselesaikan.

Dalam situasi yang tidak menentu ini, Tarik Saleh memainkan peran penting. Dengan dukungan finansial dari Uni Emirat Arab, ia menawarkan berbagai proyek pembangunan di Taiz, terutama di sektor air minum dan infrastruktur. Namun, di balik program itu, banyak pihak mencurigai adanya agenda politik jangka panjang untuk menguasai penuh kawasan Bab al-Mandab.

Di sisi lain, Presiden Dewan Kepresidenan Yaman, Rashad Al-Alimi, terlibat dalam ketegangan terbuka dengan kubu Tarik. Ketegangan itu dipicu tudingan dari pihak Tarik yang menyebut Al-Alimi memonopoli proses politik dan membatasi keterlibatan kantor politik Tarik dalam dewan-dewan konsultatif.

Beberapa sumber di dalam negeri menyebut, pertarungan politik ini bukan sekadar soal jabatan, melainkan perebutan jalur logistik militer dan ekonomi di Laut Merah. Siapa yang menguasai Taiz dan Pelabuhan Mokha, otomatis memiliki kontrol atas peredaran senjata dan barang masuk ke Yaman.

Sementara itu, ancaman separatisme di Taiz terus menjadi isu laten. Beberapa kelompok lokal pro-kemerdekaan mulai kembali mengaktifkan jaringan mereka, meski masih dalam tahap diskusi internal. Wacana ini mendapat perhatian serius karena jika meletus, bisa memicu konflik baru di Yaman yang sudah terlalu lama dilanda perang saudara.

Pemerintah Aden menegaskan akan melakukan tindakan hukum tegas terhadap siapa pun yang mencoba membentuk pemerintahan tandingan di Taiz. Mereka menilai hal itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi Yaman dan bisa memperpanjang penderitaan warga sipil yang sudah sangat menderita akibat blokade ekonomi dan serangan bersenjata.

Di tengah ketegangan ini, komunitas internasional masih pasif. PBB dan berbagai lembaga kemanusiaan hanya fokus pada upaya distribusi bantuan, tanpa langkah nyata dalam mendorong perundingan damai yang menyeluruh. Situasi di Taiz pun kian rentan, menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antara kelompok bersenjata, elite politik, dan kekuatan asing di kawasan.

Dengan realitas ini, masa depan Taiz masih diliputi ketidakpastian. Apakah akan tetap menjadi bagian utuh dari Yaman, mendapatkan otonomi khusus, atau bahkan mendeklarasikan diri sebagai republik merdeka, semua bergantung pada dinamika politik beberapa bulan ke depan. Yang jelas, rakyat Taiz masih harus bertahan di tengah reruntuhan kota dan impian lama yang belum terwujud.

Tidak ada komentar:

Ads Inside Post

Diberdayakan oleh Blogger.